“Pelita Hati”: Menyala dari Pedalaman Seluas


pelita-hati-menyala-dari-pedalaman-seluas-65395

Pagi itu, Seluas menyambut kami dengan langit yang biru jernih dan udara yang tenang. Seolah semesta ikut memberi restu atas sebuah peristiwa yang tak biasa. Ya, ini bukan sekadar acara. Ini adalah sejarah kecil yang kami ukir bersama: Launching dan Bedah Buku “Pelita Hati”, antologi cerpen perdana karya guru-guru dari pelosok Kecamatan Seluas.

Saya masih ingat betul langkah kaki para guru yang satu per satu tiba di halaman SD Negeri 06 Pereges, tempat peluncuran buku ini diselenggarakan. Raut wajah mereka tak bisa bohong: ada semangat, ada bangga, ada bahagia. Wajah-wajah lelah yang telah menempuh perjalanan jauh dari tujuh sekolah berbeda, tetapi semuanya tampak bersinar hari itu. Mereka bukan datang sebagai guru biasa, tapi sebagai penulis.

Sebanyak 27 guru terlibat dalam penulisan buku Pelita Hati. Prosesnya panjang, melelahkan, dan penuh pembelajaran. Dimulai dari bimbingan teknis menulis di bulan Februari, dilanjutkan dengan review dan analisis naskah sepanjang Maret. Semua itu mengarah pada satu titik ini: hari di mana tulisan mereka benar-benar menjadi buku, lengkap dengan cover, halaman, dan lembar dedikasi. Sebuah karya yang tak lagi sebatas angan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkayang, Bapak Heru Pujiono, S.K.M., M.K.M., hadir langsung membuka acara. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi yang begitu tulus. Beliau bilang, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Lalu mengutip Pramoedya Ananta Toer, yang kata-katanya terasa sangat pas untuk hari ini: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Kalimat itu seperti api yang menyala dalam dada kami.

Benar, api itu makin berkobar saat lima penulis terbaik diumumkan. Mereka adalah Alisia, Rupina, Santria Mayanti, Isa Mawati, dan Kristianto. Sorak tepuk tangan bergemuruh, tidak hanya sebagai bentuk apresiasi, tapi juga karena kami tahu, siapa pun yang naik panggung hari itu, mereka mewakili semangat semua guru di pedalaman yang tak menyerah.

Ketua Kombel Fajar Inovatif, Paulina Rete, M.Pd., menyampaikan rasa syukur dan bangganya. Dengan suara yang bergetar namun mantap, beliau berkata, “Kami percaya bahwa setiap guru memiliki kisah dan inspirasi yang layak dibagikan. Dan hari ini, karya-karya itu bukan hanya menjadi milik pribadi, tapi juga menjadi hadiah untuk dunia.”

Buku ini bukan muncul begitu saja. Proses kurasi naskah dilakukan oleh Suandi, S.Pd., dan Kak Ian dari KPBJ Pusat. Lebih dari sebulan mereka menekuni satu demi satu tulisan yang dikirim. Hasilnya? Buku Pelita Hati berhasil diterbitkan oleh CV Tiga Edukasi Global dan tengah menanti proses finalisasi ISBN. Sebuah proses yang, bagi kami, adalah pelajaran kesabaran dan ketekunan.

Tak bisa saya lupakan pula peran Bu Ngutini, M.Pd., Korwil IV yang tak pernah absen mendampingi kami dari awal. Bahkan, beliau turut menulis cerpen dalam buku ini dan bersedia menjadi pemateri dalam bedah buku. Cerpennya berjudul “Lelaki Tangguh di Balik Mimpi”—sebuah karya yang menggambarkan betapa kuatnya harapan seorang guru bagi masa depan anak didiknya, meski dalam keterbatasan.

Apa yang kami alami hari ini bukan sekadar launching buku. Ini adalah titik balik. Titik di mana kami, guru-guru dari wilayah terjauh, menyadari bahwa menulis bukan hak istimewa orang kota atau akademisi. Menulis adalah hak semua orang yang punya cerita, punya keberanian, dan punya harapan.

Banyak peserta mengaku belum percaya bahwa nama mereka kini tercetak di buku. Tapi air mata haru dan tawa bahagia saat foto bersama menunjukkan bahwa ini nyata. Ini adalah milik kami, dan semoga bukan yang terakhir.

Sebagai penulis dan saksi langsung peristiwa ini, saya hanya ingin mengajak siapa pun yang membaca tulisan ini untuk percaya: kita bisa. Asal mau belajar, mau mencoba, dan mau berjalan bersama. Mari terus menyalakan semangat berkarya. Jadikan literasi bukan sekadar program, tapi budaya. Bukan sekadar wacana, tapi gerakan.

Dan semoga, suatu hari nanti, dari sekolah-sekolah di Kabupaten Bengkayang, lahir penulis-penulis besar yang namanya dikenal bukan hanya di kampung halaman, tapi juga di negeri ini dan dunia. Karena setiap kata yang ditulis, adalah nyala kecil untuk perubahan yang lebih besar. (Suandi, S.Pd.)