Pagi itu,
Seluas menyambut kami dengan langit yang biru jernih dan udara yang tenang.
Seolah semesta ikut memberi restu atas sebuah peristiwa yang tak biasa. Ya, ini
bukan sekadar acara. Ini adalah sejarah kecil yang kami ukir bersama: Launching
dan Bedah Buku “Pelita Hati”, antologi cerpen perdana karya guru-guru dari
pelosok Kecamatan Seluas.
Saya masih
ingat betul langkah kaki para guru yang satu per satu tiba di halaman SD Negeri
06 Pereges, tempat peluncuran buku ini diselenggarakan. Raut wajah mereka tak
bisa bohong: ada semangat, ada bangga, ada bahagia. Wajah-wajah lelah yang
telah menempuh perjalanan jauh dari tujuh sekolah berbeda, tetapi semuanya
tampak bersinar hari itu. Mereka bukan datang sebagai guru biasa, tapi sebagai penulis.
Sebanyak 27
guru terlibat dalam penulisan buku Pelita Hati. Prosesnya panjang,
melelahkan, dan penuh pembelajaran. Dimulai dari bimbingan teknis menulis di
bulan Februari, dilanjutkan dengan review dan analisis naskah sepanjang Maret.
Semua itu mengarah pada satu titik ini: hari di mana tulisan mereka benar-benar
menjadi buku, lengkap dengan cover, halaman, dan lembar dedikasi. Sebuah karya
yang tak lagi sebatas angan.
Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkayang, Bapak Heru Pujiono, S.K.M.,
M.K.M., hadir langsung membuka acara. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan
apresiasi yang begitu tulus. Beliau bilang, “Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.” Lalu mengutip Pramoedya Ananta Toer, yang kata-katanya terasa
sangat pas untuk hari ini: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama
ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Kalimat itu seperti api yang menyala dalam dada kami.
Benar, api
itu makin berkobar saat lima penulis terbaik diumumkan. Mereka adalah Alisia,
Rupina, Santria Mayanti, Isa Mawati, dan Kristianto. Sorak tepuk tangan
bergemuruh, tidak hanya sebagai bentuk apresiasi, tapi juga karena kami tahu,
siapa pun yang naik panggung hari itu, mereka mewakili semangat semua guru di
pedalaman yang tak menyerah.
Ketua Kombel
Fajar Inovatif, Paulina Rete, M.Pd., menyampaikan rasa syukur dan bangganya.
Dengan suara yang bergetar namun mantap, beliau berkata, “Kami percaya bahwa
setiap guru memiliki kisah dan inspirasi yang layak dibagikan. Dan hari ini,
karya-karya itu bukan hanya menjadi milik pribadi, tapi juga menjadi hadiah
untuk dunia.”
Buku ini
bukan muncul begitu saja. Proses kurasi naskah dilakukan oleh Suandi, S.Pd.,
dan Kak Ian dari KPBJ Pusat. Lebih dari sebulan mereka menekuni satu demi satu
tulisan yang dikirim. Hasilnya? Buku Pelita Hati berhasil diterbitkan
oleh CV Tiga Edukasi Global dan tengah menanti proses finalisasi ISBN. Sebuah
proses yang, bagi kami, adalah pelajaran kesabaran dan ketekunan.
Tak bisa
saya lupakan pula peran Bu Ngutini, M.Pd., Korwil IV yang tak pernah absen
mendampingi kami dari awal. Bahkan, beliau turut menulis cerpen dalam buku ini
dan bersedia menjadi pemateri dalam bedah buku. Cerpennya berjudul “Lelaki
Tangguh di Balik Mimpi”—sebuah karya yang menggambarkan betapa kuatnya
harapan seorang guru bagi masa depan anak didiknya, meski dalam keterbatasan.
Apa yang
kami alami hari ini bukan sekadar launching buku. Ini adalah titik balik. Titik
di mana kami, guru-guru dari wilayah terjauh, menyadari bahwa menulis bukan hak
istimewa orang kota atau akademisi. Menulis adalah hak semua orang yang punya
cerita, punya keberanian, dan punya harapan.
Banyak
peserta mengaku belum percaya bahwa nama mereka kini tercetak di buku. Tapi air
mata haru dan tawa bahagia saat foto bersama menunjukkan bahwa ini nyata. Ini
adalah milik kami, dan semoga bukan yang terakhir.
Sebagai
penulis dan saksi langsung peristiwa ini, saya hanya ingin mengajak siapa pun
yang membaca tulisan ini untuk percaya: kita bisa. Asal mau belajar, mau
mencoba, dan mau berjalan bersama. Mari terus menyalakan semangat berkarya.
Jadikan literasi bukan sekadar program, tapi budaya. Bukan sekadar wacana, tapi
gerakan.
Dan semoga, suatu hari nanti, dari sekolah-sekolah di Kabupaten Bengkayang, lahir penulis-penulis besar yang namanya dikenal bukan hanya di kampung halaman, tapi juga di negeri ini dan dunia. Karena setiap kata yang ditulis, adalah nyala kecil untuk perubahan yang lebih besar. (Suandi, S.Pd.)